Begitu
kusukanya puisi sehingga hari itu kuputuskan akan ikut lomba membaca puisi
dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI. Lalu kudaftarkan diriku ikut lomba
baca puisi pada guru bahasa indonesiaku. Kala itu aku masih duduk di bangku
SMP. Dan kebetulan tidak ada murid lain yang mendaftarkan diri mengikuti lomba
membaca puisi itu. Alhasil saya sendiri peserta tunggal mewakili sekolahku.
Setelah
beberapa hari latihan, akhirnya saya mendatangi guru saya itu untuk
berkonsultasi tentang lomba tersebut. Dan kebetulan sekali lomba tersebut
tinggal beberapa hari lagi pelaksanaannya.
Setelah
melihat penampilanku. Tidak ada yang salah. Semuanya bagus. Baik itu pengucapan
hingga mimikku saat berpuisi. Tapi yang beliau sarankan agar saya mengganti
sepatu saya. Atau setidaknya sepatu saya itu disemir mengkilat.
Saya
bingung sejenak, apa iya sih sepatu menjadi salah satu titk penilaian. Bagi
saya berpuisi itu ya dilihat dari segi
pembacaan, pengucapan, mimic, dan penghayatan. Lalu kenapa puisi dihubungkan
dengan “sepatu” tandasku.
Sebenarnya saya sedikit tersinggung dengan komentar pak guruku itu. Apa karena sepatuku yang kucel tak seperti sepatu beliau.
Saat
itu saya masih kekanak-kanakan. Saya tidak pernah berpikir bahwa sepatu
haruslah sekinclong punya beliau. Lah saaya kan masih anak anak pak. Saya tak
pernah berpikir berlarian kesana kemari, injak ini itu bias bikin sepatu kotor.
Yang saya tau bermain lari-larian, kejar-kejaran sama teman itu lebih
menyenangkan dibandingkan terus menerus memperhatikan sepatu. Apalagi kalau ada
teman yang tidak sengaja menginjak sepatuku. Saya tidak pernah ambil pusing
kalau sepatuku kotor keinjak teman.
Ada
sih beberapa teman sekelasku, kalau sepatunya diinjak dia akan marah seketika
lalu melap sepatunya yang keinjak teman lain. Tapi bagi saya tidak. Kalau ada
teman yang tidak sengaja menginjak sepatuku, paling ku bilang “sakit tau.. “,
lalu kulanjutkan untuk berlarian lagi.
Bagi
saya sepatu itu yaa fungsinya untuk diinjak, dijadikan alas kaki. Dijadikan
pelindung kaki. Bukan untuk dijadikan sebagai mahkota. Toh yang orang lihat
pertama kali itu wajah bukan kaki. Haahaa… itu
menurutku saat maasih lugu.
Adakalanya
saya menanggalkan sepatu saya bukan karena menyayangi sepatuku, atau takut
sepatuku terkena becek, maklum saat itu jalanan dikampungku sebagian belum
beraspal. Tapi karena saya tidak nyaman memakai sepatu kalau sedang basah dan
lembab,. Seperti waktu saya masih SD dulu. Saya suka menanggalakan sepatu kalau
melihat air got yang jernih. Seketika saya tergiur untuk berjalan diatas got,
mencari ikan-ikan atau udang kecil. Dan
saya tidak mau sepatu saya basah.
Waktu
itu saya masih SD itu. Saya tinggalnya di kota bukan di kampong. Lalu saat memasuki
masa SMP saya disuruh tinggal dikampung jagain nenek saya. Otomatis kehidupan
saya berubah. Kebiasaan saya pun berubah. Dari yang terbiasa hidup dengan
barang-barang elektronik menjadi tanpa listrik. Yang dulunya saya terbiasa
memandang sekeliling dengan lampu neon saat malam hari,, tiba tiba memakai
lampu pelita.
Nah
kembali kemasalah perlombaan baca puisi yang akan digelar pemerintah kabupaten
dalam rangka HUT kemerdekaan RI. Saat yang kunantikan telah tiba. Aku dengan
bangganya ke atas panggung membaca puisi “Antara Krwang dan bekasi” dengan
hikmad.
Pengumuman
pemenang tidak langsung diumumkan hari
itu. Tapi akan diumumkan seminggu kemudian saat pesta rakyat akan berakhir.
Seminggu
berlalu, dan akhirnya tiba waktu yang aku nantikan yaitu pengumuman pemenang
keseluruhan lomba-lomba yang sudah diadakan. Aku mendengarkan dengan seksama.
Dan… saat diumumkan pemenang lomba baca puisi, tidak kudengar namaku disebut
sebagai pemenang ketiga, kedua, dan pertama.
Sedih..?!?!
tidak. Kecewa…?!?! Iya. Tapi saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Lalu saya
berpikir dengan seksama, mengulas balik apa yang sudah saya lakukan saat lomba
tersebut. Apa aku melewatkan satu fase?? Berpakaian sopan, iya. Memberi salam
hormat kepada juri dan penonton, iya. Pengucapan dan mimic, perasaanku sudah
menghayati dan berapi-api sekali. Salam penutup juga iya.
Lalu
saya tetiba teringat sepatuku. Apa karena sepatuku yang kucel itukah yang
membuatku tidak juara sama sekali? Haahaa… saya tertawa sendiri. Yaah bias
jadi.
Yaa
sudahlah. Atau mungkin ada hal lain yang kurang dalam penampilanku saat itu.
Atau mungkin memang ada yang lebih bagus berpuisi dariku. Mungkin aku yang
terlalu percaqya diri dan begitu yakin akan menjadi juara, padahal tidak
satupun. Aku berpikir positif saja deh untuk menghibur diriku kala itu. Dan
bersyukurnya saya menjuarai lomba menari. Hitunmh-hitung sebagai obat penghapus
duka karena tidak menjadi juara di lomba baca puisi.
Lalu
setelah kejadian itu, apakah aku berubah menjadi orang yang begitu mempedulikan
penampilan dan sepatu? Heehee… Cuma sedikit.. saya hanya lebih menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Saat menghaidiri pesta pernikahan atau acara penting
saja saya akan care dengan penampilan. Selebihnya tergantung situasi, kondisi,
waktu dan tempat.

No comments:
Post a Comment